Harga tersebut diatas adalah harga rupiah per kilo rerata pasar di daerah Jawa Timur wilayah kerja PT Perkebunan Nusantara XI. Data diolah dari Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur yang diakses pada tanggal 31 Agustus 2015.
Sementara itu harga tender gula milik petani (28/08) PTPN XI wilayah barat dilepas dengan harga Rp9.452,-/Kg, wilayah timur Rp9.432,-/Kg, PG Semboro Rp9.712,- sedangkan tender gula Direksi PTPN X dilepas dengan harga Rp9.603,-/Kg. Meski demikian harga tersebut masih berada di bawah HPP yang telah ditetapkan yakni sebesar Rp8.900/Kg.
Senin, Agustus 31, 2015
Tren Harga GKP JATIM Menurun
28 Agustus 2015 : Turun Setelah Melonjak, Harga Gula Dunia USD 341,40
GRAFIK HARGA. Masih mengalami jenuh jual, harga gula dunia USD 341,40 |
Harga gula dunia kembali mengalami penurunan setelah sehari sebelumnya melonjak hingga mencapai 5 %. Hal ini masih menandakan bahwa komoditas ini masih mengalami jenuh jual.
Harga gula kristal putih (white sugar plantation) dunia di bursa berjangka London LIFFE kontrak nomor 5 menjadi USD 341,40 atau turun sebesar USD 1,50 untuk pengapalan bulan Oktober 2015. Untuk bulan Desember 2015 harga menjadi USD 340,80 (turun USD 0,80), bulan Maret 2016 menjadi USD 339,80 (turun USD 0,70), bulan Mei 2015 menjadi USD 343,60 (turun USD 0,80), dan untuk pengapalan bulan Agustus 2016 harga turun sebesar USD 0,09 menjadi USD 346,00.
Harga gula mentah (raw sugar) di bursa berjangka New York ICE US kontrak nomor 11 untuk pengapalan bulan Oktober 2015 turun sebesar USD 0,09 menjadi USD 10,97. Untuk bulan Maret 2016 harga menjadi USD 11,96 (naik USD 0,05), bulan Mei 2016 menjadi USD 12,08 (naik USD 0,06), bulan Juli 2016 menjadi USD 12,10 (naik USD 0,08), dan untuk pengapalan bulan Oktober 2016 harga menjadi USD 12,29 atau naik sebesar USD 0,08.
Penurunan harga juga terjadi pada kontrak nomor 16, untuk bulan Oktober 2015 harga turun sebesar USD 0,09 menjadi USD 10,97. Untuk bulan Maret 2016 harga menjadi USD 11,96 (naik USD 0,05), bulan Mei 2016 menjadi USD 12,08 (naik USD 0,06), bulan Juli 2016 menjadi USD 12,10 (naik USD 0,08), dan untuk bulan Oktober 2016 menjadi USD 12,29 atau naik sebesar USD 0,08.
2015
Harga tersebut diatas adalah berlaku di negara asal, FOB per ton untuk gula kristal putih dan FOB per pound (lb) untuk gula raw sugar serta belum termasuk biaya pengapalan dan premium. Sedangkan nilai tukar rupiah pada Jumat (28/08) lalu adalah Rp 14.081,- per 1 USD
Sabtu, Agustus 29, 2015
Pabrik Gula PTPN XI Siap Pacu Produksi Semester II
Sejumlah pabrik gula milik PT Perkebunan Nusantara XI memacu nilai produksi gula di paruh kedua tahun ini.
Pasalnya, pada Agustus dan September diklaim sebagai peak season masa giling tebu. Selain itu, pabrik gula mulai berani mengambil langkah inovatif demi kelangsungan operasi.
Pabrik Gula (PG) Kedawoeng misalnya. Kendati baru terealisasi 45% pada semester I/2015, PG tersebut optimistis mencapai target produksi yang dipatok 23.000 ton di akhir tahun.
Adapun jumlah tersebut naik 13,7% dari pencapaian tahun lalu 19.000 ton gula.
General Manager PG Kedawoeng Achmad Barnas mengatakan pabrik gula yang dinahkodainya kini baru memproduksi 9.000 ton gula pada semester I. Namun, pihaknya optimistis merengkuh target di puncak musim giling.
“Masih kurang 55% lagi bisa dikebut di musim puncak giling Agustus hingga September,” katanya kepada Bisnis.com saat ditemui dii Pabrik Gula Kedawoeng di Pasuruan, Senin (24/8/2015).
Adapun, pabrik gula yang berdiri sejak 1889 itu membidik laba Rp1 miliar sepanjang 2015.
Proyeksi tersebut merupakan langkah yang berani diterapkan mengingat perusahaan dirundung kerugian di tahun-tahun sebelumnya.
Meski tidak menyebutkan kerugian yang ditanggung, pihaknya menerapkan beberapa perbaikan untuk memompa produksi sekaligus mengeruk laba di tahun ini.
Salah satunya yaitu usaha menekan biaya sumber daya manusia. Menurutnya, selama ini profit pabrik tergerus karna tingginya biaya penggajian karyawan. Seperti diketahui, upah minimum regional di Kabupaten Pasuruan tembus Rp2.700.000.
Pabrik menerapkan pola tiga shift empat regu sehingga mengurangi bayaran jam lembur. Pihaknya mengklaim mampu menghemat biaya lembur hingga 70% periode Agustus 2014 hingga Agustus 2015.
Selain itu, pihaknya juga mendatangkan tebu pilihan dengan mutu manis, bersih dan segar (MBS). Adapun tebu didatangkan dari tiga kota andalan yaitu Lumajang, Mojokerto dan Malang.
“Ini demi mencapai produksi dengan rendemen incaran yaitu 7,5% dan harga lelang gula Rp9.830,” ujarnya.
Sementara itu, Pabrik Gula Wonolongan di Probolinggo memproyeksikan laba Rp4 miliar sejalan dengan upaya peningkatan produksi gula dan penekanan harga pokok produksi (HPP).
General Manager PG Wonolangan Agus Setiono mengatakan tahun ini pihaknya sudah melakukan beberapa langkah perbaikan pabrik agar bisa menekan biaya produksi atau HPP hingga menjadi Rp7.000/kg dari HPP tahun lalu yang mencapai Rp10.000/kg.
“Tahun lalu kami sempat merugi karena tingginya HPP. Harapan kami bisa menekan HPP sampai Rp5.100/Kg,” katanya saat ditemui di Pabrik Gula Wonolangan di Probolinggo, Senin (24/8/2015).
Adapun PG Wonolangan saat ini disuplai oleh tebu rakyat (TR) sekitar 95% dan sisanya tebu sendiri (TS). Dari total tebu rakyat, sebanyak 70% di antaranya berasal dari Lumajang dan sisanya dari Probolinggo.
Sedangkan luas tanam tahun ini diproyeksikan untuk TR yakni 3.976 Ha, dan TS seluas 139 Ha. Luas tersebut meningkat dibanding 2014 yakni untuk TR seluas 3.772 Ha, sedangkan luas tanam TS menuyusut menjadi 303 Ha.
Produksi gula tahun ini pun ditargetkan bisa mencapai 21.639 ton atau meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 19.460 ton. Sementara, rendemen sampai akhir musim giling tahun ini diproyeksikan bisa mencapai 8%, dari rendemen saat ini 7,49%
Sumber berita dari sini
Jumat, Agustus 28, 2015
Semester I, PTPN XI Bukukan Laba Rp 12 Miliar
Kinerja PTPN XI dalam semester pertama tahun ini semakin mengeliat kearah kemajuan. Direktur Utama PTPN XI Dolly P. Pulungan mengatakan kinerja pabrik meningkat karena perseroan menerapkan sistem respons cepat atas perubahan di lapangan.
“Perpaduan antara semangat dan keputusan cepat membuat pabrik termotivasi bekerja maksimal,” akunya.
Hingga semester 1 ini PTPN XI telah membukukan laba 12 miliar jauh melampaui proyeksi rencana yang biasanya merugi karena baru mulai giling. Menurut Pulungan, hal ini terjadi karena pihaknya mulai mampu mengatasi masalah dilapangan dan cepat serta mendatangkan sejumlah konsultan turut memberikan ilmu baru.
“Ada konsultan yang kami ajak memberi masukan agar kinerja pabrik bisa maksimal, konsultan lokal kami manfaatkan untuk merefresh ketrampilan operasional sedang konsultan India membantu dalam rancang bangun revitalisasi dan hilirisasi menuju pabrik yang modern ,” terangnya
Sementara itu hingga pertengahan Agustus ini, lima Pabrik Gula (PG) milik PTPN berhasil masuk dalam sepuluh besar capaian rendemen. Posisi atas masih ditempati PG Assembagoes dengan perolehan SHS prosen tebu sebesar 8,05% dan produksi SHS mencapai 14.403 ton.
PG Pradjekan diurutan keempat dengan SHS prosen tebu sebesar 7,78% dan produksi sebesar 14.473 ton. Diurutan keenam diduduki PG Pagottan dengan SHS prosen tebu 7,53% dan produksi SHS sebesar 12.817 ton.
“PG Pandjie menempati urutan kedelapan dengan SHS prosen tebu 7,56% dan produksi SHS 7.577 ton dan PG Poerwodadie di posisi Sembilan dengan perolehan SHS prosen tebu sebesar 7,55% dan produksi SHS 10.598 ton,” tandasnya.
Direktur SDM dan Umum PTPN XI M. Cholidi menambahkan peningkatan kualitas produksi pabrik juga dipengaruhi peningkatan kemampuan personalia di pabrik.
“Soft skill mereka harus terus diperhatikan, kendala ketrampilan ini mulai terasa ketika para operator senior banyak yg pensiun. Sedangkan pengganti nya belum siap. keterbatasan alat juga direspons cepat agar tidak terakumulasi menjadi bottle neck yang sangat mengganggu. Ini bagian dari upaya kita agar pabrik gula terus bisa bersaing,” aku Cholidi
Menurutnya strategi peningkatan kemampuan, penyegaran pengetahuan — salah satu caranya dengan mendatangkan contoh dari negara lain — dan respons cepat akan pemenuhan kebutuhan investasi peralatan pabrik akan terus dilakukan
Sumber berita dari sini
Selasa, Agustus 18, 2015
PG Purwodadi Laksanakan Upacara Peringatan HUT RI Ke 70
Pgpoerwodadie.com, Magetan : Senin, 17 Agustus 2015 telah dilaksanakan Upacara dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 70. Upacara dilakukan di halaman Kantor Tanaman Pabrik Gula Purwodadi. Upacara dihadiri oleh seluruh karyawan dan karyawati PG Purwodadi. Turut hadir juga para ibu-ibu yang tergabung dalam Ikatan Istri kelaurga Besar (IIKB) PG Purwodadi.
Dalam upacara tersebut General Manager, Ir. RM. Satrijo Wibowo yang bertindak sebagai Pembina Upacara dalam sambutannya mengajak seluruh karyawan PG Purwodadi selaku Generasi Penerus untuk mengisi kemerdekaan melalui operasional PG Purwodadi yang hingga saat ini sudah melaksanakan Giling hari yang ke 72. "Masih ada waktu untuk melaksanakan amanah yang mulia ini, oleh karenanya saya mengajak kepada seluruh karyawan dan karyawati PG Purwodadi ayo bekerja keras dengan menyatukan persepsi dan langkah untuk mencapai tebu yang digiling tahun 2015 sesuai RKAP minimal 2,7 juta", ujar beliau dalam sambutannya.
Acara dilanjutkan dengan pemberian penghargaan yang langsung diberikan oleh General Manager PG Purwodadi kepada karyawan yang telah mengabdi kepada perusahaan selama 20 tahun, 30 tahun dan 35 tahun.
Rabu, Agustus 12, 2015
Pabrik Gula Diminta Terapkan Manajemen K3
Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri meminta pengelola pabrik-pabrik gula di seluruh Indonesia meningkatkan kualitas manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penerapan manajemen K3 sangat penting agar para pekerja terhindar dari kecelakan.
“Manajemen K3 juga membuat pekerja merasa nyaman dan aman saat bekerja sehingga dapat memacu produktivitasnya dalam mencapai target perusahaan,” kata Hanif, Senin, (3/8).
Pemerintah akan terus mendorong agar semua pabrik gula mematuhi aturan ketenagakerjaan, baik soal K3 maupun hubungan industrial.
Ini untuk kepentingan pengusaha maupun pekerja juga.
Saat ini, terang Hanif, belum banyak pabrik gula yang mampu menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Padahal, SMK3 diperlukan untuk memastikan adanya sistem yang terintegrasi di lingkungan bisnis yang bisa menciptakan suasana terbaik bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
“Pemberlakuan SMK3 merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan untuk pengendalian risiko terkait kegiatan kerja yang aman, efisien, dan produktif. Ini akan terus didorong dan diawasi oleh Kementerian,” katanya. Semua pabrik harus taat aturan. Kalau ada pabrik yang melanggar akan diberi sanksi.
Berita dari sini
Senin, Agustus 10, 2015
Empulur Ampas Tebu Sebagai Penyerap Pakan Ternak
Limbah perkebunan tebu dan industri olahannya terdiri dari pucuk tebu, ampas tebu, blotong, dan tetes. Hasil samping yang dapat langsung dimanfaatkan sebagai pakan ternak yaitu pucuk tebu dan tetes, sedangkan yang harus melalui proses pengolahan yaitu ampas tebu, dan bahkan ada yang dimanfaatkan setelah diolah menjadi bahan lain seperti ragi pakan ternak dan lysine dari tetes.
The waste of sugar cane plantations and its industries consists of sugarcane shoots, bagasse, and molasses. The byproducts that can be directly used as cattle feed are sugarcane shoots and molasses, while the ones that need further process are bagasse, yeast and lysine fodder.
Disamping itu ada juga yang dimanfaatkan dalam bentuk limbah dari proses pengolahan hasil samping seperti empulur ampas tebu (bagasse pith) yang merupakan hasil samping dari pengolahan ampas tebu menjadi pulp.
Ampas tebu pada umumnya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kertas. Namun demikian, tidak semua ampas tebu dimanfaatkan untuk pembuatan kertas, sehingga sisa ampas tebu masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia.
Ampas tebu ini dapat untuk menggantikan sebagian hijauan pakan ternak.
Karena mikro organisme dalam pencernaan ternak ruminansia mempunyai kemampuan untuk memfermentasikan serat kasar sebagai sumber energi. Bila ditinjau dari kandungan gizinya, ampas tebu tidak memenuhi persyaratan iuntuk memenuhi kebutuhan hidup pokok apalagi produksi, sehingga harus ditambah dengan pakan suplemen.
Ampas tebu yang diolah menjadi pulp untuk pembuatan kertas akan memperoleh hasil samping, yaitu empulur ampas tebu. Empulur ampas tebu ini berasal dari ampas tebu yang sudah diambil seratnya untuk keperluan bahan serat pabrik kertas.
Empulur ampas tebu ini mengandung bahan berserat tinggi, sehingga lebih sesuai sebagai sumber serat bagi ternak dari pada sebagai konsentrat.
Empulur ampas tebu ini dapat dimanfaatkan sebagai penyerap tetes dalam pakan ternak. Empulur ampas tebu tidak mungkin digunakan sebagai pakan ternak secara tunggal karena kapatabilitasnya rendah. Amoniasi ampulur ampas tebu dengan urea merupakan upaya delignisasi karena lignin dalam empulur ampas tebu cukup tinggi sehingga membatasi palatabilitasnya sebagai pakan.
Amonisasi empulur ampas tebu juga dapat meningkatkan kandungan kandungan protein non nitrogen.
Amonisasi dilakukan selama 3 mimggu, dengan kadar urea 6 % dari batang kering. Empulur ampas tebu amoniasi ini dapat digunakan sebagai pengganti sebagian hijauan tetapi dalam pemberiannya kepada ternak harus di campurkan ke dalam pakan konsentrat. Untuk sapi potong, empulur ampas tebu dapat menggantikan setengah bagian hijauan, sedang untuk sapi perah dapat menggantikan 15 % dari hijauan.
Artikel dari sini
Kamis, Agustus 06, 2015
Menjaga Gula Tidak Hilang di Kebun
Kamis, 23 Juli 2015. Hari masih pagi. Waktu baru menunjukkan pukul 07.00 WIB. Namun, kesibukan mulai tampak di perkebunan tebu di Desa Prampelan, Kecamatan Karang Rejo, Magetan Jawa Timur. Puluhan penebang, kuli angkut dan supir truk berada di tengah-tengah area kebun tebu, mengerjakan pekerjaan masing-masing.
“Sekarang baru tebang lagi,” kata seorang penebang tebu. Di sampingnya, kuli pengangkut menata tebu untuk diikat dan kemudian diangkut ke dalam truk yang telah menunggu di tengah-tengah kebun. Hari itu merupakan hari pertama aktivitas penebangan tebu setelah sempat terhenti sepekan karena libur lebaran.
Prampelan adalah sebuah desa yang hanya berjarak tidak lebih tiga kilometer dari Pabrik Gula Poerwodadie. Sehingga tidak mengherankan jika di desa tersebut banyak petaninya menanam tebu. Samingun, salah seorang petani tebu yang berasal dari desa tersebut mengatakan, jumlah petani tebu di wilayah itu terus meningkat sejak reformasi bergulir. Ini terjadi karena banyak tipe lahan yang boleh ditanami tebu oleh petani. “Jumlah petani tebu di areal PG Poerwodadie saat ini semakin banyak. Dari sisi lahan juga semakin luas. Dulu tegalan dan pekarangan tidak boleh ditanami tebu, tapi sekarang boleh,” katanya kepada SH.
Reformasi adalah titik balik bagi petani tebu. Reformasi menjadi penanda kebebasan bagi petani tebu, setelah puluhan tahun mendapatkan tekanan dari rezim Orde Baru (Orba). Saat itu, tidak ada pilihan lain bagi petani selain menanam program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Program TRI dicanangkan sejak 1975. Semula program itu dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan tebu itu sulit dilakukan karena sebagian besar petani ternyata enggan menangam tebu di lahan pertaniannya.
Oleh karenanya, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1975 untuk memotivasi petani mengikuti program tebu rakyat intensifikasi. Inpres ini menetapkan, petani mengusahakan tanaman tebu, sedangkan pabrik gula mengolah hasil panen tebu petani. Adapun pemasaran sepenuhnya ditangani Badan Urusan Logistik (Bulog).
Implementasi Inpres ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) Nomor 16/1995 yang mendorong petani supaya mau bertanam tebu. Berdasarkan SK ini,
Koperasi Unit Desa (KUD) ditunjuk sebagai lembaga resmi penyalur kredit produksi TRI.
Namun, harapan ekonomi petani dapat meningkat lewat program ini ternyata tidak terwujud. Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) cabang Magetan, Pambudi, menggambarkan masa-masa tersebut sebagai masa kehancuran bagi petani tebu. “Petani disuruh menyediakan lahan, tetapi yang menggarap orang lain. Petani tidak punya posisi tawar,” katanya.
Kesulitan Pupuk
Angin reformasi yang berhembus pada 1998 membebaskan petani tebu. Petani boleh menanami lahannnya sendiri. Selain itu, petani diuntungkan dengan dana talangan yang dikucurkan. Yang lebih penting adalah petani diberikan bagi hasil dari harga minimal. “Sekarang harga minimalnya Rp 8.900,” katanya. Sejak tahun 2000-an, APTRI berhasil menata penjualan gula dengan harga tinggi. “Petani bisa memiliki posisi tawar, sehingga mendapat keuntunga lebih,” ujarnya.
Samingun menambahkan, setelah reformasi banyak muncul varietas baru bibit tebu, antara lain, P3GI, PS864, PS 862, PS 881, PMC, PS775, PS 11, dan BL (Bulu Lawang). Hanya saja, ketiadaan fase penanaman membuat kadar gula dalam tebu (rendeman) rendah. Namun, kondisi itu saat ini telah diperbaiki dengan adanya penataan masa penanaman, yakni awal, tengah dan akhir.
Bibit tebu yang cocok untuk masa awal antara lain, PS 862 dan PMC. Bibit tebu yang ditanam masa tengah adalah PS 864 dan PS 881. Adapun, pada masa akhir, bibit tebu yang cocok ditanam adalah Bulu Lawang. “Masa awal itu penanamannya bulan Mei-Juli. Masa tengah bulan juli – September dan masa akhir bulan September sampai selesai,” katanya.
Adanya penataan masa tanam itu membuat rendeman yang awalnya kurang menjadi meningkat. “Dua tahun ini mengalami peningkatan. Umur tebu adalah 12 – 14 bulan. Kurang dari itu atau lebih dari itu rendemannya berkurang,” katanya.
Meski telah mereguk kebebasan bercocok tanam, petani tebu masih menghadapi momok yang menakutkan.
Petani tebu saat ini mengalami kesulitan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Akibatnya, pemupukan menjadi tidak tepat waktu. “Sudah empat tahun mengalami kendala pupuk. Kalau telat memupuk pertumbuhannya terhambat, rendemannya rendah. Kami ini petani, sekarang berpikir bagaimana caranya supaya gula tidak hilang di kebun,” ia memaparkan. Untuk mengejar waktu, petani tebu harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli pupuk nonsubsidi. “Akhirnya biaya operasional penanaman menjadi lebih mahal, jadinya keuntungan kurang lagi,” katanya.
Di sisi lain, gula rafinasi yang seharusnya diperuntukkan bagi industri minuman dan makanan merembes hingga ke pasar-pasar. Akibatnya, harga gula di pasaran jatuh. Peredaran gula rafinasi tersebut, kata Samingun, tidak saja menghancurkan petani tetapi juga pabrik gula. “Selama ini bagi hasil antara pabrik gula dan petani adalah 34 : 66 persen,” ujarnya. Pambudi menegaskan, rendahnya harga gula saat ini mengakibatkan, petani-petani tebu mulai beralih bercocok tanam komoditas lainnya, seperti singkong, jagung ataupun padi. “Posisi tawar petani tebu sekarang rendah,” ujarnya
Sumber berita dari sini
Mencecap Lagi Manisnya Gula
Aroma manis gula itu berpendar ke udara suatu siang akhir Juli lalu. Bahkan, bau harumnya mulai tercium ratusan meter sebelum mata bisa menangkap sebuah bangunan tua di tepi jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Ngawi, Magetan dan Madiun itu. Bangunan tua itu tak lain adalah Pabrik Gula (PG) Poerwodadie. Pabrik yang terletak di Desa Pelem, Kecamatan Karangrejo, Magetan, pabrik itu merupakan pabrik gula peninggalan masa kolonial Hindia Belanda yang dibangun pada 1832. Saat itu bernama Nederlands Hendel Maatschapij (NHM).
PG Poerwodadie pernah menjadi saksi kejayaan industri gula di tanah air pada 1930-an, ketika Jawa menguasai produksi gula dunia, setelah Kuba. Jumlah pabrik gula yang berdiri hingga 1930-an mencapai 200-an. Pasca kemerdekaan, atau tahun 1959, PG Poerwodadie bersama pabrik-pabrik gula peninggalan Belanda lainnya di nasionalisasi pemerintah Indonesia. Saat ini, PG Poerwodadie berada di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. Di dekat pabrik tersebut juga berdiri PG lain, yakni Pagottan, Redjosarie, Soedhono, Kanigoro. “Kabupaten Magetan dan sekitarnya ini memang memiliki historis gula,” kata General Manager PG Poerwodadie, Satriyo kepada SH.
Pemerintahan melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan masa-masa keemasan gula Indonesia. Pada masa Orde Baru (Orba), keinginan untuk mengembalikan kejayaan industri gula di Indonesia justru banyak mendapatkan tentangan dari para petani. Program Tebu Rakyat Indonesia (TRI) telah memaksa petani untuk menanami lahannya dengan tebu, dan tidak boleh mengalihkannya ke komoditas lain yang dianggap menguntungkan.
Usaha ini memang berbuah manis, sekalipun petani merugi. Pasokan tebu berlimpah dan terjadi kesinambungan. Namun, setelah reformasi, meski petani mereguk kebebasan bercocok tanam, industri gula telah mengalami kehancuran lebih dulu, sehingga tetap membawa dampak negatif pada petani tebu.
Di era reformasi ini sepertinya kejayaan industri gula makin jauh. Terbukti Indonesia sebagai importir gula terbesar ke-3 dunia berdasarkan data World Sugar Production, Suppy, and Distribution. Oleh karena itu, para pemimpin negeri ini mendengungkan tentang pentingnya swasembada gula. Pemerintahan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo, semuanya mencanangkan swasembada gula.
Di atas Kertas
Namun, petani tebu asal Magetan, Sutono mengatakan, swasembada itu hanya menjadi pemanis kebijakan di atas kertas, yang sulit untuk diwujudkan. Saat ini, petani tebu kesulitan mendapatkan pupuk. Akibatnya, biaya operasional melambung, sehingga untuk mencapai Break Event Point (BEP) saja sangat sulit. Petani juga masih melakukan pengelolaan secara manual, belum mekanisasi.
Alat pemanen modern lazimnya di negara maju juga belum ada. Di sisi lain, gula rafinasi merembes ke pasar-pasar, membuat harga gula di tingkat petani jatuh. “Gula rafinasi memang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman. Tetapi itu harus dikawal, diawasi, dan diamankan secara ketat,” ujarnya.
Satriyo menambahkan, masuknya gula rafinasi ke pasaran ini, bukan saja merugikan petani tetapi juga pabrik gula. “Kami kan bagi hasil. Kalau gula rafinasi di pasaran membludak, gula dari petani tidak laku. Padahal, kami menumpuk gula itu di gudang-gudang yang harusnya juga dipasarkan,” katanya.
Menurut Satriyo, swasembada gula bisa dilakukan jika terjadi revitalisasi di dua sektor, yakni on farm (perkebunan) dan off farm (pabrik gula). Revitalisasi on farm meliputi kegiatan mekanisasi, pemenuhan bibit, pupuk, dan paling penting ketersediaan lahan. Ia berpendapat, kebebasan petani untuk bercocok tanam membuat pasokan tebu tidak bisa dipastikan. “Seharusnya setiap kecamatan ditentukan luas arealnya yang diperuntukkan untuk tanaman tebu. Sekarang terserah, ya jadinya orang bebas menanam apa saja,” ujarnya.
Sementara untuk revitalisasi off farm, diperlukan penambahan kapasitas pabrik gula, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), dan automatisasi.
“Pabrik gula sekarang ini seperti handphone. Kelihatannya saja chasing-nya tua, tetapi onderdil di dalam sudah banyak yang baru. Jadi tidak benar, kalau peralatannya tua-tua,” katanya.
Pria yang telah memimpin berbagai pabrik gula ini meyakini, jika revitalisasi di dua sektor tersebut dijalankan, swasembada gula bisa dicapai. “Bukan membangun pabrik lagi. Karena selama ini matinya pabrik gula itu karena tidak ada tebu. Tebu sekarang masih dianggap sebagai budidaya yang kurang menarik,” katanya. Apa yang dikatakan Satriyo diamini Sutono. Menurutnya, pembangunan pabrik tanpa diiringi dengan pemasalan budaya menanam tebu, hanya menjadi kebijakan yang sia-sia.
“Di luar Jawa itu menanam tebu kalau bukan orang Jawa, tidak ada yang menanam tebu. Kalau tidak ada yang menanam tebu, terus apa yang mau digiling?” katanya
Sumber dari sini
Rabu, Agustus 05, 2015
Tak Ada Semut di Jejak Gula
Daya tarik Indonesia bagi Belanda pada zaman kolonial ternyata bukan hanya rempah-rempah dari Timur. Dengan iklim panas sepanjang tahun, tanah subur dan air melimpah, tanah Jawa khususnya Batavia, pada masa itu, adalah tempat sangat bagus untuk menumbuhkan tebu-tebu untuk dijadikan gula.
Bondan Kanumoyoso, sejarawan UI, dalam disertasinya yang berjudul Beyond The City Wall, Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740, pada awal kehadirannya di Nusantara, perhatian Kompeni terkonsentrasi pada rempah-rempah yang sangat diminati pasar. Tapi, fokus mereka segera terbagi pada gula, sebuah komoditas yang memiliki potensi komersial yang dahsyat. Gula paling dicari di pasar Eropa maupun pasar Asia. Menguasai industri gula berarti kekayaan yang melimpah.
Namun, Belanda belum menguasai industri tersebut. Orang-orang Tionghoa-lah yang ahli. Sebelum Batavia dibangun oleh Jan Pieterzoen Coen, industri gula berskala kecil telah dijalani para pengusaha Tionghoa di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti Banten, Cirebon, Tegal, dan Jepara.
Memanfaatkan kepiawaian orang-orang Tionghoa berbisnis gula, Kompeni mengundang mereka untuk meninggalkan Banten dan hidup di Batavia, menawari mereka terjun ke pertanian. Tawaran itu datang bersama insentif menggiurkan: mereka dikecualikan dari pajak serta produksi gula dan beras mereka dijamin dibeli Kompeni.
Namun, tak ada makan siang gratis. Pasar gula di Batavia dimonopoli oleh VOC sejak awal. “Pabrik-pabrik diwajibkan untuk mengirim gula putih mereka kepada Kompeni,” tulis Bondan.
Namun, perluasan dan pengembangan pertanian gula tertunda selama beberapa dekade dengan pecahnya perang kambuhan antara Batavia dan Banten, tapi setelah takluknya Banten pada 1683, industri gula mulai tumbuh dengan pesat. Kompeni menerapkan pembatasan-pembatasan pada harga gula, kuota produksi, dan jumlah pabrik gula yang diberi izin untuk beroperasi. Pembatasan-pembatasan tersebut penting karena Kompeni berusaha mengatur produksi gula di wilayah-wilayah yang dikuasainya untuk mengakomodasi permintaan yang naik-turun dari pasar-pasar Asia dan Eropa. Kompeni mengklaim hak untuk membeli gula-gula kelas satu (cabessa) dan gula-gula kelas dua (bariga), tapi mereka tidak mengambil gula kelas tiga (pee) yang oleh karena itu diperdagangkan oleh pegawai Kompeni dan China secara diam-diam.
Selalu mencemaskan jumlah gula yang dikirim ke gudang-gudangnya, Pemerintahan Batavia sering berdebat soal harga-harga pengiriman saat rapat-rapat kebijakan mereka. Implementasi dari kebijakan harga ini sangat sederhana: ketika produksi gula meningkat, Kompeni akan mengurangi harga pembelian, tapi harga ini akan naik lagi, ketika produksi gula turun.
Pemberontakan
Dalam periode yang sama, setelah jeda panjang, permintaan pasar Eropa untuk gula Asia meningkat lagi. Pada 1700, 43 ton gula Batavia dikirim ke Eropa. Permintaan yang tinggi terus berlanjut dan mencapai puncaknya selama 1724-1727 ketika lebih dari 2.000 ton gula Batavia diekspor setiap tahun ke Belanda. Jumlah ini terulang lagi pada 1732, ketika 2.618 ton gula Batavia dikirim ke Eropa, tapi setelah itu permintaan Belanda cenderung menurun lagi. “Produksi gula dan ekspor berhenti secara tiba-tiba pada 1740, ketika pemberontakan orang-orang Tionghoa pecah di Batavia,” tulis Bondan.
Kebijakan harga gula tetap dan monopoli ketat Kompeni pada ekspor-ekspor gula dari Batavia menyulut kebangkrutan banyak pengusaha Tionghoa. Sejumlah pabrik gula ditutup dan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Orang-orang Tionghoa menjadi korban utama; bukan hanya karena pabrik-pabrik gula nyaris seluruhnya dimiliki orang-orang Tionghoa dan dikerjakan buruh-buruh Tionghoa, tapi juga karena sebagian besar komunitas Tionghoa bergantung secara langsung dan tidak langsung pada industri ini. Kondisi yang memburuk dalam produksi gula ini mendorong kerusuhan sosial yang hebat, berakibat pada pemberontakan China di dalam tembok Batavia, dan pembantaian orang-orang China di kota itu. Tak seorang Tionghoa pun tersisa dalam peristiwa itu.
Kejayaan di Luar Batavia
Era Napoleon, pos-pos dagang VOC diserahkan kepada Inggris, termasuk di Indonesia. Di era ini, pedagang-pedagang besar dari Inggris memelopori industri gula modern di Pamanukan Ciasem, Jawa Barat. Namun, masa Inggris di Nusantara hanya sebentar. Pada 1814, kekuasaan itu dikembalikan lagi ke Belanda.
Jeroen Touwen dari Universitas Leiden dalam artikelnya berjudul “The Economic History of Indonesia” (dimuat di EH.net pada 2008), menuliskan kedatangan Belanda kembali ke Nusantara mendapat perlawanan keras dari orang-orang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830). Untuk menekan pemberontakan ini dan menerapkan kekuasaan yang lebih tegas di Jawa, pengeluaran Belanda meningkat.
Ini berakibat pada eksploitasi gila-gilaan di tanah koloni. Cultuurstelsel (diterjemahkan sebagai tanam paksa) diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch. Ini adalah sistem yang diatur negara untuk produksi pertanian seperti gula dan kopi. Demi mendapatkan keuntungan besar, pemerintahan Belanda memaksa para petani Jawa untuk menanam tanaman bahan baku untuk industri yang laku di pasar ekspor.
Para pegawai sipil dan kepala daerah di Jawa diberi bayaran yang tinggi untuk mengawasi sistem tersebut. Ekspor produk-produk tersebut dikonsinyasikan kepada perusahaan dagang milik pemerintahan Belanda, Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), yang didirikan pada 1824.
Secara perlahan, sistem tanam paksa ditiadakan. Reformasi internal di pemerintahan Belanda tidak lagi menoleransi cara-cara seperti itu. Setelah 1870, perusahaan swasta dipromosikan, tapi ekspor-ekspor bahan mentah mencapai momentum pada 1900, termasuk gula. Jawa menguasai produksi gula dunia, setelah Kuba. Jumlah pabrik gula yang berdiri hingga 1930-an mencapai 200-an. Namun, di saat puncak kejayaan, industri ini diluluhlantakkan oleh Depresi dan tak mampu pulih lagi. Kejayaan gula tinggal jejak-jejak yang nyaris hilang, hingga semut pun tak singgah lagi di sana.
Sumber berita dari sini