Mencecap Lagi Manisnya Gula


Aroma manis gula itu berpendar ke udara suatu siang akhir Juli lalu. Bahkan, bau harumnya mulai tercium ratusan meter sebelum mata bisa menangkap sebuah bangunan tua di tepi jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Ngawi, Magetan dan Madiun itu. Bangunan tua itu tak lain adalah Pabrik Gula (PG) Poerwodadie. Pabrik yang terletak di Desa Pelem, Kecamatan Karangrejo, Magetan, pabrik itu merupakan pabrik gula peninggalan masa kolonial Hindia Belanda yang dibangun pada 1832. Saat itu bernama Nederlands Hendel Maatschapij (NHM). 

PG Poerwodadie pernah menjadi saksi kejayaan industri gula di tanah air pada 1930-an, ketika Jawa menguasai produksi gula dunia, setelah Kuba. Jumlah pabrik gula yang berdiri hingga 1930-an mencapai 200-an. Pasca kemerdekaan, atau tahun 1959, PG Poerwodadie bersama pabrik-pabrik gula peninggalan Belanda lainnya di nasionalisasi pemerintah Indonesia. Saat ini, PG Poerwodadie berada di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. Di dekat pabrik tersebut juga berdiri PG lain, yakni Pagottan, Redjosarie, Soedhono, Kanigoro. “Kabupaten Magetan dan sekitarnya ini memang memiliki historis gula,” kata General Manager PG Poerwodadie, Satriyo kepada SH. 

Pemerintahan melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan masa-masa keemasan gula Indonesia. Pada masa Orde Baru (Orba), keinginan untuk mengembalikan kejayaan industri gula di Indonesia justru banyak mendapatkan tentangan dari para petani. Program Tebu Rakyat Indonesia (TRI) telah memaksa petani untuk menanami lahannya dengan tebu, dan tidak boleh mengalihkannya ke komoditas lain yang dianggap menguntungkan. Usaha ini memang berbuah manis, sekalipun petani merugi. Pasokan tebu berlimpah dan terjadi kesinambungan. Namun, setelah reformasi, meski petani mereguk kebebasan bercocok tanam, industri gula telah mengalami kehancuran lebih dulu, sehingga tetap membawa dampak negatif pada petani tebu. Di era reformasi ini sepertinya kejayaan industri gula makin jauh. Terbukti Indonesia sebagai importir gula terbesar ke-3 dunia berdasarkan data World Sugar Production, Suppy, and Distribution. Oleh karena itu, para pemimpin negeri ini mendengungkan tentang pentingnya swasembada gula. Pemerintahan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo, semuanya mencanangkan swasembada gula. 

Di atas Kertas 
Namun, petani tebu asal Magetan, Sutono mengatakan, swasembada itu hanya menjadi pemanis kebijakan di atas kertas, yang sulit untuk diwujudkan. Saat ini, petani tebu kesulitan mendapatkan pupuk. Akibatnya, biaya operasional melambung, sehingga untuk mencapai Break Event Point (BEP) saja sangat sulit. Petani juga masih melakukan pengelolaan secara manual, belum mekanisasi. 

Alat pemanen modern lazimnya di negara maju juga belum ada. Di sisi lain, gula rafinasi merembes ke pasar-pasar, membuat harga gula di tingkat petani jatuh. “Gula rafinasi memang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman. Tetapi itu harus dikawal, diawasi, dan diamankan secara ketat,” ujarnya. Satriyo menambahkan, masuknya gula rafinasi ke pasaran ini, bukan saja merugikan petani tetapi juga pabrik gula. “Kami kan bagi hasil. Kalau gula rafinasi di pasaran membludak, gula dari petani tidak laku. Padahal, kami menumpuk gula itu di gudang-gudang yang harusnya juga dipasarkan,” katanya. Menurut Satriyo, swasembada gula bisa dilakukan jika terjadi revitalisasi di dua sektor, yakni on farm (perkebunan) dan off farm (pabrik gula). Revitalisasi on farm meliputi kegiatan mekanisasi, pemenuhan bibit, pupuk, dan paling penting ketersediaan lahan. Ia berpendapat, kebebasan petani untuk bercocok tanam membuat pasokan tebu tidak bisa dipastikan. “Seharusnya setiap kecamatan ditentukan luas arealnya yang diperuntukkan untuk tanaman tebu. Sekarang terserah, ya jadinya orang bebas menanam apa saja,” ujarnya. Sementara untuk revitalisasi off farm, diperlukan penambahan kapasitas pabrik gula, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), dan automatisasi. 

“Pabrik gula sekarang ini seperti handphone. Kelihatannya saja chasing-nya tua, tetapi onderdil di dalam sudah banyak yang baru. Jadi tidak benar, kalau peralatannya tua-tua,” katanya. Pria yang telah memimpin berbagai pabrik gula ini meyakini, jika revitalisasi di dua sektor tersebut dijalankan, swasembada gula bisa dicapai. “Bukan membangun pabrik lagi. Karena selama ini matinya pabrik gula itu karena tidak ada tebu. Tebu sekarang masih dianggap sebagai budidaya yang kurang menarik,” katanya. Apa yang dikatakan Satriyo diamini Sutono. Menurutnya, pembangunan pabrik tanpa diiringi dengan pemasalan budaya menanam tebu, hanya menjadi kebijakan yang sia-sia. “Di luar Jawa itu menanam tebu kalau bukan orang Jawa, tidak ada yang menanam tebu. Kalau tidak ada yang menanam tebu, terus apa yang mau digiling?” katanya 

Sumber dari sini

Cari Berita