Menjaga Gula Tidak Hilang di Kebun


Kamis, 23 Juli 2015. Hari masih pagi. Waktu baru menunjukkan pukul 07.00 WIB. Namun, kesibukan mulai tampak di perkebunan tebu di Desa Prampelan, Kecamatan Karang Rejo, Magetan Jawa Timur. Puluhan penebang, kuli angkut dan supir truk berada di tengah-tengah area kebun tebu, mengerjakan pekerjaan masing-masing. “Sekarang baru tebang lagi,” kata seorang penebang tebu. Di sampingnya, kuli pengangkut menata tebu untuk diikat dan kemudian diangkut ke dalam truk yang telah menunggu di tengah-tengah kebun. Hari itu merupakan hari pertama aktivitas penebangan tebu setelah sempat terhenti sepekan karena libur lebaran. 

Prampelan adalah sebuah desa yang hanya berjarak tidak lebih tiga kilometer dari Pabrik Gula Poerwodadie. Sehingga tidak mengherankan jika di desa tersebut banyak petaninya menanam tebu. Samingun, salah seorang petani tebu yang berasal dari desa tersebut mengatakan, jumlah petani tebu di wilayah itu terus meningkat sejak reformasi bergulir. Ini terjadi karena banyak tipe lahan yang boleh ditanami tebu oleh petani. “Jumlah petani tebu di areal PG Poerwodadie saat ini semakin banyak. Dari sisi lahan juga semakin luas. Dulu tegalan dan pekarangan tidak boleh ditanami tebu, tapi sekarang boleh,” katanya kepada SH. 

Reformasi adalah titik balik bagi petani tebu. Reformasi menjadi penanda kebebasan bagi petani tebu, setelah puluhan tahun mendapatkan tekanan dari rezim Orde Baru (Orba). Saat itu, tidak ada pilihan lain bagi petani selain menanam program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Program TRI dicanangkan sejak 1975. Semula program itu dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan tebu itu sulit dilakukan karena sebagian besar petani ternyata enggan menangam tebu di lahan pertaniannya. Oleh karenanya, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1975 untuk memotivasi petani mengikuti program tebu rakyat intensifikasi. Inpres ini menetapkan, petani mengusahakan tanaman tebu, sedangkan pabrik gula mengolah hasil panen tebu petani. Adapun pemasaran sepenuhnya ditangani Badan Urusan Logistik (Bulog). Implementasi Inpres ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) Nomor 16/1995 yang mendorong petani supaya mau bertanam tebu. Berdasarkan SK ini, 

Koperasi Unit Desa (KUD) ditunjuk sebagai lembaga resmi penyalur kredit produksi TRI. Namun, harapan ekonomi petani dapat meningkat lewat program ini ternyata tidak terwujud. Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) cabang Magetan, Pambudi, menggambarkan masa-masa tersebut sebagai masa kehancuran bagi petani tebu. “Petani disuruh menyediakan lahan, tetapi yang menggarap orang lain. Petani tidak punya posisi tawar,” katanya. 

Kesulitan Pupuk
Angin reformasi yang berhembus pada 1998 membebaskan petani tebu. Petani boleh menanami lahannnya sendiri. Selain itu, petani diuntungkan dengan dana talangan yang dikucurkan. Yang lebih penting adalah petani diberikan bagi hasil dari harga minimal. “Sekarang harga minimalnya Rp 8.900,” katanya. Sejak tahun 2000-an, APTRI berhasil menata penjualan gula dengan harga tinggi. “Petani bisa memiliki posisi tawar, sehingga mendapat keuntunga lebih,” ujarnya. Samingun menambahkan, setelah reformasi banyak muncul varietas baru bibit tebu, antara lain, P3GI, PS864, PS 862, PS 881, PMC, PS775, PS 11, dan BL (Bulu Lawang). Hanya saja, ketiadaan fase penanaman membuat kadar gula dalam tebu (rendeman) rendah. Namun, kondisi itu saat ini telah diperbaiki dengan adanya penataan masa penanaman, yakni awal, tengah dan akhir. 

Bibit tebu yang cocok untuk masa awal antara lain, PS 862 dan PMC. Bibit tebu yang ditanam masa tengah adalah PS 864 dan PS 881. Adapun, pada masa akhir, bibit tebu yang cocok ditanam adalah Bulu Lawang. “Masa awal itu penanamannya bulan Mei-Juli. Masa tengah bulan juli – September dan masa akhir bulan September sampai selesai,” katanya. Adanya penataan masa tanam itu membuat rendeman yang awalnya kurang menjadi meningkat. “Dua tahun ini mengalami peningkatan. Umur tebu adalah 12 – 14 bulan. Kurang dari itu atau lebih dari itu rendemannya berkurang,” katanya. Meski telah mereguk kebebasan bercocok tanam, petani tebu masih menghadapi momok yang menakutkan. 

Petani tebu saat ini mengalami kesulitan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Akibatnya, pemupukan menjadi tidak tepat waktu. “Sudah empat tahun mengalami kendala pupuk. Kalau telat memupuk pertumbuhannya terhambat, rendemannya rendah. Kami ini petani, sekarang berpikir bagaimana caranya supaya gula tidak hilang di kebun,” ia memaparkan. Untuk mengejar waktu, petani tebu harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli pupuk nonsubsidi. “Akhirnya biaya operasional penanaman menjadi lebih mahal, jadinya keuntungan kurang lagi,” katanya. Di sisi lain, gula rafinasi yang seharusnya diperuntukkan bagi industri minuman dan makanan merembes hingga ke pasar-pasar. Akibatnya, harga gula di pasaran jatuh. Peredaran gula rafinasi tersebut, kata Samingun, tidak saja menghancurkan petani tetapi juga pabrik gula. “Selama ini bagi hasil antara pabrik gula dan petani adalah 34 : 66 persen,” ujarnya. Pambudi menegaskan, rendahnya harga gula saat ini mengakibatkan, petani-petani tebu mulai beralih bercocok tanam komoditas lainnya, seperti singkong, jagung ataupun padi. “Posisi tawar petani tebu sekarang rendah,” ujarnya 

Sumber berita dari sini

Cari Berita