Daya tarik Indonesia bagi Belanda pada zaman kolonial ternyata bukan hanya rempah-rempah dari Timur. Dengan iklim panas sepanjang tahun, tanah subur dan air melimpah, tanah Jawa khususnya Batavia, pada masa itu, adalah tempat sangat bagus untuk menumbuhkan tebu-tebu untuk dijadikan gula.
Bondan Kanumoyoso, sejarawan UI, dalam disertasinya yang berjudul Beyond The City Wall, Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740, pada awal kehadirannya di Nusantara, perhatian Kompeni terkonsentrasi pada rempah-rempah yang sangat diminati pasar. Tapi, fokus mereka segera terbagi pada gula, sebuah komoditas yang memiliki potensi komersial yang dahsyat. Gula paling dicari di pasar Eropa maupun pasar Asia. Menguasai industri gula berarti kekayaan yang melimpah.
Namun, Belanda belum menguasai industri tersebut. Orang-orang Tionghoa-lah yang ahli. Sebelum Batavia dibangun oleh Jan Pieterzoen Coen, industri gula berskala kecil telah dijalani para pengusaha Tionghoa di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti Banten, Cirebon, Tegal, dan Jepara.
Memanfaatkan kepiawaian orang-orang Tionghoa berbisnis gula, Kompeni mengundang mereka untuk meninggalkan Banten dan hidup di Batavia, menawari mereka terjun ke pertanian. Tawaran itu datang bersama insentif menggiurkan: mereka dikecualikan dari pajak serta produksi gula dan beras mereka dijamin dibeli Kompeni.
Namun, tak ada makan siang gratis. Pasar gula di Batavia dimonopoli oleh VOC sejak awal. “Pabrik-pabrik diwajibkan untuk mengirim gula putih mereka kepada Kompeni,” tulis Bondan.
Namun, perluasan dan pengembangan pertanian gula tertunda selama beberapa dekade dengan pecahnya perang kambuhan antara Batavia dan Banten, tapi setelah takluknya Banten pada 1683, industri gula mulai tumbuh dengan pesat. Kompeni menerapkan pembatasan-pembatasan pada harga gula, kuota produksi, dan jumlah pabrik gula yang diberi izin untuk beroperasi. Pembatasan-pembatasan tersebut penting karena Kompeni berusaha mengatur produksi gula di wilayah-wilayah yang dikuasainya untuk mengakomodasi permintaan yang naik-turun dari pasar-pasar Asia dan Eropa. Kompeni mengklaim hak untuk membeli gula-gula kelas satu (cabessa) dan gula-gula kelas dua (bariga), tapi mereka tidak mengambil gula kelas tiga (pee) yang oleh karena itu diperdagangkan oleh pegawai Kompeni dan China secara diam-diam.
Selalu mencemaskan jumlah gula yang dikirim ke gudang-gudangnya, Pemerintahan Batavia sering berdebat soal harga-harga pengiriman saat rapat-rapat kebijakan mereka. Implementasi dari kebijakan harga ini sangat sederhana: ketika produksi gula meningkat, Kompeni akan mengurangi harga pembelian, tapi harga ini akan naik lagi, ketika produksi gula turun.
Pemberontakan
Dalam periode yang sama, setelah jeda panjang, permintaan pasar Eropa untuk gula Asia meningkat lagi. Pada 1700, 43 ton gula Batavia dikirim ke Eropa. Permintaan yang tinggi terus berlanjut dan mencapai puncaknya selama 1724-1727 ketika lebih dari 2.000 ton gula Batavia diekspor setiap tahun ke Belanda. Jumlah ini terulang lagi pada 1732, ketika 2.618 ton gula Batavia dikirim ke Eropa, tapi setelah itu permintaan Belanda cenderung menurun lagi. “Produksi gula dan ekspor berhenti secara tiba-tiba pada 1740, ketika pemberontakan orang-orang Tionghoa pecah di Batavia,” tulis Bondan.
Kebijakan harga gula tetap dan monopoli ketat Kompeni pada ekspor-ekspor gula dari Batavia menyulut kebangkrutan banyak pengusaha Tionghoa. Sejumlah pabrik gula ditutup dan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Orang-orang Tionghoa menjadi korban utama; bukan hanya karena pabrik-pabrik gula nyaris seluruhnya dimiliki orang-orang Tionghoa dan dikerjakan buruh-buruh Tionghoa, tapi juga karena sebagian besar komunitas Tionghoa bergantung secara langsung dan tidak langsung pada industri ini. Kondisi yang memburuk dalam produksi gula ini mendorong kerusuhan sosial yang hebat, berakibat pada pemberontakan China di dalam tembok Batavia, dan pembantaian orang-orang China di kota itu. Tak seorang Tionghoa pun tersisa dalam peristiwa itu.
Kejayaan di Luar Batavia
Era Napoleon, pos-pos dagang VOC diserahkan kepada Inggris, termasuk di Indonesia. Di era ini, pedagang-pedagang besar dari Inggris memelopori industri gula modern di Pamanukan Ciasem, Jawa Barat. Namun, masa Inggris di Nusantara hanya sebentar. Pada 1814, kekuasaan itu dikembalikan lagi ke Belanda.
Jeroen Touwen dari Universitas Leiden dalam artikelnya berjudul “The Economic History of Indonesia” (dimuat di EH.net pada 2008), menuliskan kedatangan Belanda kembali ke Nusantara mendapat perlawanan keras dari orang-orang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830). Untuk menekan pemberontakan ini dan menerapkan kekuasaan yang lebih tegas di Jawa, pengeluaran Belanda meningkat.
Ini berakibat pada eksploitasi gila-gilaan di tanah koloni. Cultuurstelsel (diterjemahkan sebagai tanam paksa) diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch. Ini adalah sistem yang diatur negara untuk produksi pertanian seperti gula dan kopi. Demi mendapatkan keuntungan besar, pemerintahan Belanda memaksa para petani Jawa untuk menanam tanaman bahan baku untuk industri yang laku di pasar ekspor.
Para pegawai sipil dan kepala daerah di Jawa diberi bayaran yang tinggi untuk mengawasi sistem tersebut. Ekspor produk-produk tersebut dikonsinyasikan kepada perusahaan dagang milik pemerintahan Belanda, Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), yang didirikan pada 1824.
Secara perlahan, sistem tanam paksa ditiadakan. Reformasi internal di pemerintahan Belanda tidak lagi menoleransi cara-cara seperti itu. Setelah 1870, perusahaan swasta dipromosikan, tapi ekspor-ekspor bahan mentah mencapai momentum pada 1900, termasuk gula. Jawa menguasai produksi gula dunia, setelah Kuba. Jumlah pabrik gula yang berdiri hingga 1930-an mencapai 200-an. Namun, di saat puncak kejayaan, industri ini diluluhlantakkan oleh Depresi dan tak mampu pulih lagi. Kejayaan gula tinggal jejak-jejak yang nyaris hilang, hingga semut pun tak singgah lagi di sana.
Sumber berita dari sini