Mereka belum tahu harus berbuat apa. Ke-180 pengusaha kecil yang bergerak di bidang pembuatan pupuk organik ini lagi gundah. Awalnya dari surat seorang dirjen yang dilayangkan ke PT Petrokimia Gresik, yang selama ini mengelola subsidi pupuk organik untuk petani.
Dalam surat itu disebutkan Komisi IV DPR RI memutuskan untuk menghapus subsidi pupuk organik. Itu berarti PT Petrokimia Gresik yang selama ini menjadi pembeli tunggal pupuk organik hasil dari pabrik-pabrik kecil itu akan menghentikan pembeliannya. Sama saja dengan menyuruh pabrik-pabrik tersebut menghentikan kegiatannya. Ada 180 pabrik yang harus tutup. Dan minggu lalu sudah benar-benar tutup. Selama ini PT Petrokimia Gresik membeli pupuk organik dari mereka dengan harga Rp 1.200 per kilogram.
Pupuk itu diolah kembali dengan teknologi modern dan dibuat standar. Misalnya ditambah mixtro (produk petrokimia). Agar bisa sekalian menjadi booster untuk padi. Juga harus dipanaskan dengan suhu 350 derajat celsius untuk mematikan gulma, bakteri, dan jamur yang merugikan tanaman padi. Setelah itu pupuk tersebut dijual ke petani dengan harga Rp 500 per kg. Dengan demikian pemerintah memberikan subsidi Rp 700 per kg. Petrokimia Gresik selama ini juga melakukan kampanye besar-besaran dengan mensosialisasikan rumus “5-3-2″. Sukses. Para petani sudah hafal dengan kode itu. Tanpa melakukan itu berarti cara mereka bertani dianggap tidak benar. Sosialisasi ini sangat berhasil. Suatu saat saya diundang temu wicara di tengah sawah di Sumedang.
Tidak hanya yang laki-laki, ibu-ibu pun bisa menjelaskan apa itu rumus “5-3-2″. Demikian juga saat saya menghadiri acara yang sama di Sragen. Di Klaten. Di Bantul. Di Cianjur. Rumus “5-3-2″ sudah hafal di luar kepala: 500 kg organik (Petroganik), 300 kg NPK (Ponska), dan 200 kg urea untuk tiap hektarnya. Itulah pemupukan padi yang benar. Dulu petani mengira tanaman itu kian terlihat hijau kian baik. Bahkan kalau perlu hijaunya sampai kebiru-biruan. Akibatnya banyak petani yang berlomba memperbanyak urea. Padahal itu hanya “tipuan”. Dan mahal. Memang dengan memperbanyak urea warna tanaman jauh lebih hijau, tapi tidak ada hubungannya dengan upaya memperbanyak buliran padi.
Di awal “zaman saya dulu” (maksudnya di zaman Pak Harto, hehe…) memang pupuk kimia seperti urea, digalakkan segalak-galaknya. Waktu itu memang zaman kekurangan pangan. Produksi beras harus digenjot: sebanyak mungkin dan secepat kilat. Pupuk kimia adalah jalan pintas mengatasi persoalan. Indonesia swasembada beras. Namun, kemudian disadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus itu telah merusak tanah. Kesuburan tanah berkurang drastis. “Masih enak zaman saya” telah membuat “tidak enak di zaman facebook dan twitter”. Mau tidak mau tanah yang mati akibat pupuk kimia itu harus dihidupkan kembali. Harus disuburkan. Caranya: memberikan pupuk organik di sawah-sawah itu. Sudah lima tahun di zaman Pak SBY ini program menyuburkan kembali sawah dilakukan. Tiap tahun pupuk organik disubsidi. Agar terjangkau. Agar petani mau menebarkan pupuk organik. Agar tanah subur kembali. Para petani juga sudah mulai sadar pentingnya pupuk organik.
Sangat bangga melihat petani sudah mulai fanatik pupuk organik. Rumus “5-3-2″ sudah di luar kepala. Haruskah kini petani kembali ke “zaman saya dulu”? Mengapa di saat seperti itu subsidi pupuk organik justru dihentikan? Haruskah petani lagi yang dikecewakan? Mengapa kelangsungan program Pak SBY ini harus terputus? Ketika berkumpul dengan 180 produsen pupuk organik itu, Kamis minggu lalu di Gramedia Expo Surabaya, masih belum ditemukan solusi. Mereka hanya bisa kecewa, mengeluh dan marah. Hadi Mustofa, anak muda Tulungagung yang juga produsen pupuk organik akhirnya angkat bicara: kalau memang subsidi pupuk organik tetap dihapus, bagaimana kalau harga pupuk non-organik dinaikkan? Dengan demikian subsidi untuk non-organik berkurang. Bisa dialihkan menjadi subsidi pupuk organik. Sekalian mengurangi pemakaian pupuk kimia. Ini berbeda dengan tanaman tebu. Seluruh kepala petani tebu juga berkumpul di tempat yang sama Kamis lalu. Membicarakan upaya peningkatan produksi tebu. Ini sesuai dengan prinsip “gula itu dibuat di kebun, bukan di pabrik gula”. Artinya, untuk meningkatkan produksi gula mau-tidak-mau tebunya harus baik. Mereka juga sepakat penggunaan pupuk organik di tanaman tebu sangat vital. Tebu yang dipupuk organik jauh lebih subur dibanding yang tidak. Hanya saja untuk tanaman tebu pabrik gula punya sumber pupuk organik yang murah.
Karena pabrik gula menghasilkan limbah organik yang sangat besar. Blotong. Cukup untuk mengorganiki tanam tebu di wilayahnya. Sedang untuk sawah sumbernya tidak tersedia di semua lokasi. Kecuali, kelak, setiap petani punya ternak sapi sendiri. Tapi di saat jumlah sapi terus merosot belakangan ini subsidi pupuk organik harus kita perjuangkan. Apalagi, sebetulnya, nilai subsidi untuk pupuk organik bagi petani ini tidak besar besar amat. “Hanya” Rp 800 miliar per tahun. Tidak ada artinya dibanding, misalnya, yang “satu itu”: k-o-r-u-p-s-i.
Oleh Dahlan Iskan Menteri BUMN
Dalam surat itu disebutkan Komisi IV DPR RI memutuskan untuk menghapus subsidi pupuk organik. Itu berarti PT Petrokimia Gresik yang selama ini menjadi pembeli tunggal pupuk organik hasil dari pabrik-pabrik kecil itu akan menghentikan pembeliannya. Sama saja dengan menyuruh pabrik-pabrik tersebut menghentikan kegiatannya. Ada 180 pabrik yang harus tutup. Dan minggu lalu sudah benar-benar tutup. Selama ini PT Petrokimia Gresik membeli pupuk organik dari mereka dengan harga Rp 1.200 per kilogram.
Pupuk itu diolah kembali dengan teknologi modern dan dibuat standar. Misalnya ditambah mixtro (produk petrokimia). Agar bisa sekalian menjadi booster untuk padi. Juga harus dipanaskan dengan suhu 350 derajat celsius untuk mematikan gulma, bakteri, dan jamur yang merugikan tanaman padi. Setelah itu pupuk tersebut dijual ke petani dengan harga Rp 500 per kg. Dengan demikian pemerintah memberikan subsidi Rp 700 per kg. Petrokimia Gresik selama ini juga melakukan kampanye besar-besaran dengan mensosialisasikan rumus “5-3-2″. Sukses. Para petani sudah hafal dengan kode itu. Tanpa melakukan itu berarti cara mereka bertani dianggap tidak benar. Sosialisasi ini sangat berhasil. Suatu saat saya diundang temu wicara di tengah sawah di Sumedang.
Tidak hanya yang laki-laki, ibu-ibu pun bisa menjelaskan apa itu rumus “5-3-2″. Demikian juga saat saya menghadiri acara yang sama di Sragen. Di Klaten. Di Bantul. Di Cianjur. Rumus “5-3-2″ sudah hafal di luar kepala: 500 kg organik (Petroganik), 300 kg NPK (Ponska), dan 200 kg urea untuk tiap hektarnya. Itulah pemupukan padi yang benar. Dulu petani mengira tanaman itu kian terlihat hijau kian baik. Bahkan kalau perlu hijaunya sampai kebiru-biruan. Akibatnya banyak petani yang berlomba memperbanyak urea. Padahal itu hanya “tipuan”. Dan mahal. Memang dengan memperbanyak urea warna tanaman jauh lebih hijau, tapi tidak ada hubungannya dengan upaya memperbanyak buliran padi.
Di awal “zaman saya dulu” (maksudnya di zaman Pak Harto, hehe…) memang pupuk kimia seperti urea, digalakkan segalak-galaknya. Waktu itu memang zaman kekurangan pangan. Produksi beras harus digenjot: sebanyak mungkin dan secepat kilat. Pupuk kimia adalah jalan pintas mengatasi persoalan. Indonesia swasembada beras. Namun, kemudian disadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus itu telah merusak tanah. Kesuburan tanah berkurang drastis. “Masih enak zaman saya” telah membuat “tidak enak di zaman facebook dan twitter”. Mau tidak mau tanah yang mati akibat pupuk kimia itu harus dihidupkan kembali. Harus disuburkan. Caranya: memberikan pupuk organik di sawah-sawah itu. Sudah lima tahun di zaman Pak SBY ini program menyuburkan kembali sawah dilakukan. Tiap tahun pupuk organik disubsidi. Agar terjangkau. Agar petani mau menebarkan pupuk organik. Agar tanah subur kembali. Para petani juga sudah mulai sadar pentingnya pupuk organik.
Sangat bangga melihat petani sudah mulai fanatik pupuk organik. Rumus “5-3-2″ sudah di luar kepala. Haruskah kini petani kembali ke “zaman saya dulu”? Mengapa di saat seperti itu subsidi pupuk organik justru dihentikan? Haruskah petani lagi yang dikecewakan? Mengapa kelangsungan program Pak SBY ini harus terputus? Ketika berkumpul dengan 180 produsen pupuk organik itu, Kamis minggu lalu di Gramedia Expo Surabaya, masih belum ditemukan solusi. Mereka hanya bisa kecewa, mengeluh dan marah. Hadi Mustofa, anak muda Tulungagung yang juga produsen pupuk organik akhirnya angkat bicara: kalau memang subsidi pupuk organik tetap dihapus, bagaimana kalau harga pupuk non-organik dinaikkan? Dengan demikian subsidi untuk non-organik berkurang. Bisa dialihkan menjadi subsidi pupuk organik. Sekalian mengurangi pemakaian pupuk kimia. Ini berbeda dengan tanaman tebu. Seluruh kepala petani tebu juga berkumpul di tempat yang sama Kamis lalu. Membicarakan upaya peningkatan produksi tebu. Ini sesuai dengan prinsip “gula itu dibuat di kebun, bukan di pabrik gula”. Artinya, untuk meningkatkan produksi gula mau-tidak-mau tebunya harus baik. Mereka juga sepakat penggunaan pupuk organik di tanaman tebu sangat vital. Tebu yang dipupuk organik jauh lebih subur dibanding yang tidak. Hanya saja untuk tanaman tebu pabrik gula punya sumber pupuk organik yang murah.
Karena pabrik gula menghasilkan limbah organik yang sangat besar. Blotong. Cukup untuk mengorganiki tanam tebu di wilayahnya. Sedang untuk sawah sumbernya tidak tersedia di semua lokasi. Kecuali, kelak, setiap petani punya ternak sapi sendiri. Tapi di saat jumlah sapi terus merosot belakangan ini subsidi pupuk organik harus kita perjuangkan. Apalagi, sebetulnya, nilai subsidi untuk pupuk organik bagi petani ini tidak besar besar amat. “Hanya” Rp 800 miliar per tahun. Tidak ada artinya dibanding, misalnya, yang “satu itu”: k-o-r-u-p-s-i.
Oleh Dahlan Iskan Menteri BUMN