Manufacturing Hope 120:Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka


Tiba-tiba saya bisa tahlilan di Grobogan. Di kuburan seorang tokoh. Tidak saya sangka kalau makam tokoh itu di dekat kebun kedelai yang saya tinjau Rabu lalu: Ki Ageng Selo. Itulah tokoh yang namanya saya pakai untuk mobil listrik generasi kedua Putra Petir: Selo. Sebuah mobil sport warna kuning yang baru dipamerkan di Universitas Atma Jaya Jakarta dan juga di Palembang sana. Nama Selo kami ambil karena ada legenda yang sudah terkenal. Bahwa Ki Ageng Selo punya kemampuan menangkap petir.

“Benarkah makamnya di Desa Selo ini?” tanya saya kepada Bupati Grobogan Bambang Pudjiono yang menyertai saya meninjau kebun kedelai unggul itu. “Saya pikir makamnya di Jogjakarta,” tambah saya. Kalau Pak Bupati tidak menginfokan keberadaan makam ini, tentulah saya tidak akan pernah bisa “permisi” menggunakan nama beliau untuk mobil listrik kita. “Jangan-jangan karena belum pernah minta izin itulah sehingga nasib mobil listrik tidak segera jelas sampai sekarang,” gurau teman saya yang ikut ke Grobogan. 

Maka, di makam Ki Ageng Selo itu, di samping tahlil, saya juga curhat (dalam hati) mengenai sulitnya prosedur mengurus mobil listrik itu di pemerintah. Padahal, negara lain sudah kian kencang saja larinya. Hari itu saya ke Grobogan untuk dua acara: geropyokan tikus dan meninjau tanaman kedelai binaan Bank Mandiri. Berita keberhasilan teknik baru geropyokan tikus di Godean, Jogja, dulu ternyata telah menginspirasi banyak daerah untuk melakukan hal yang sama. Maka, hari itu tim Brigade Hama PT Pupuk Indonesia menyosialisasikan cara-cara baru tersebut. Dari geropyokan tikus inilah saya menuju Desa Selo. Saya lihat tanaman kedelainya sudah mulai berbuah. 

Memang agak aneh di bulan Maret begini bisa tanam kedelai. Itulah tanaman kedelai di luar musim. Ini memang hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu. Terutama yang kontur tanahnya agak tinggi. Sehingga di saat turun hujan tidak akan ada air menggenang. Pengolahan tanahnya pun sedemikian rupa sehingga air hujan bisa langsung meninggalkan lokasi. Promotor tanaman kedelai ini adalah Adi Widjaya. Dialah putra daerah Grobogan lulusan Universitas Satya Wacana Salatiga yang memenangi lomba technopreneur Bank Mandiri. Mikroba temuannya telah memenangkan hadiah Rp 1 miliar. 

Dengan syarat hadiah itu untuk pengembangan kedelai dengan menggunakan temuannya tersebut. Adi berhasil mengumpulkan petani yang mau mencoba teknik dan pupuk yang ditemukannya. Tentu dengan benih dan pupuk yang diberikan gratis dari uang Rp 1 miliar itu. Total terkumpul sekitar 1.000 hektare tanah yang mau dipakai uji coba. Inilah kedelai unggul yang luar biasa. Dengan menggunakan teknik baru itu, akan bisa dihasilkan 2,5 ton per hektare. Sekitar dua kali lipat dari produksi kedelai dengan cara lama. Kalau saja semua petani kedelai menggunakan cara ini, kekurangan produksi kedelai nasional bisa diatasi. Impor kedelai bisa dikurangi secara drastis. Tanaman kedelai yang saya tinjau itu memang sangat jelas bedanya. 

Daunnya lebih tebal, pohonnya lebih tinggi, dan cabang-cabangnya lebih banyak. Daun yang tebal itu berfungsi untuk penyerapan sinar matahari yang lebih maksimal. Cabang yang banyak itu berfungsi untuk menghasilkan buah kedelai yang lebih banyak. Mengapa kedelai ini ditanam di luar musim? “Agar hasilnya bisa untuk benih yang akan ditanam di musim tanam akan datang,” ujar Adi Widjaya yang setelah lulus Satya Wacana meneruskan kuliah di Australia. “Jadi, tanaman kedelai ini bukan untuk dikonsumsi, tapi untuk benih,” tambahnya. Tentu para petaninya beruntung. Dengan panen di luar musim, harga kedelainya sangat baik. Apalagi kualitas benihnya. Maka, persoalan berikutnya adalah ini: maukah petani di Desa Selo itu menanam kedelai dengan teknik yang sudah mereka kuasai tersebut tanpa bantuan Bank Mandiri lagi? “Mauuuuuuu,” jawab para petani itu serentak. 

Tentu saya masih khawatir dengan jawaban tersebut. Jangan-jangan hanya karena ada saya. Atau karena ada Pak Bupati Bambang Pudjiono. Maka, satu per satu saya tanya mengapa mereka mau meneruskan sendiri teknik baru itu tanpa bantuan. “Hasilnya sudah kelihatan jelas berbeda,” ucap seorang petani yang masih muda. “Kami mau maju, Pak Menteri,” ujar yang lain. “Niki mboten mawi bantuan malih lho. Tetep sanggup?” tanya saya. “Sangguuuuup,” kata petani serentak. Saya tegaskan bahwa Bank Mandiri saya minta tetap memberikan dana, tapi untuk desa lain. Agar penggunaan teknik baru itu segera meluas. “Mangertooooos,” jawab mereka. 

Memang, seperti dijelaskan Adi, untuk menerapkan teknik baru itu, biayanya bertambah Rp 500.000 per hektare. Tapi, hasilnya bertambah Rp 3 juta. Inilah yang juga saya khawatirkan. Kadang, dengan alasan lagi tidak punya uang, petani mengorbankan hasil yang maksimal. Karena tidak ada uang, petani pasrah: menerima saja hasil seadanya. Itulah sebabnya, program “yarnen” BUMN (“bayar setelah panen”) harus terus diperluas. Untuk mengatasi sikap pasrah para petani. Tentu tidak hanya untuk kedelai. Saat ini kami juga lagi bicara dengan dua ilmuwan terkemuka kita yang hasil penemuannya belum dimanfaatkan secara memadai. Itulah topik Manufacturing Hope minggu depan. 

(*) Dahlan Iskan Menteri BUMN

Cari Berita