Spirulina Sumber : http://www.jpnn.com |
Dua anak muda ini gigihnya bukan main. Mahmud dan Sidiq. Mahmud baru lulus dari jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang, dan Sidiq masih kuliah di Teknik Mesin Universitas Brawijaya Malang.
Dua bulan lalu ketika saya bermalam di satu desa di pinggir hutan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah, Mahmud nguber saya sampai ke desa itu.
Senja amat mendung. Hujan renyai-renyai tidak kunjung berhenti. Di suasana senja yang dingin itu Mahmud menyusul saya ke masjid desa.
Meski langit sudah gelap, saat maghrib ternyata masih lama. Mahmud membuka laptopnya. Dengan berapi-api dia mendesak saya. “Pemerintah harus turun tangan. Jangan mengabaikan penemuan saya ini,” katanya.
Saya dengarkan terus penjelasannya yang bertubi-tubi itu.
Ditonton orang-orang desa yang siap-siap berjamaah maghrib. Di mata yang mendengarkan penjelasan itu pemerintah terkesan jelek sekali. Tidak membantu dan mengakomodasikan penemuan seperti ini.
“Ini sangat menguntungkan, Pak Dahlan,” ujarnya. “Ayo, BUMN bantu dengan CSR-nya,” tambahnya.
Rupanya Mahmud baru menemukan rumus mengembangkan algae air tawar. Itulah produk yang disebut spirulina. Selama ini memang sudah banyak beredar di pasar produk spirulina. Tapi spirulina hasil dari algae air asin (air laut).
Produk ini terkenal terutama karena agresifnya sistem pemasaran multi level marketing (MLM). Mahal tapi laris. Khasiat spirulina yang tingggi membuat impor spirulina luar biasa besarnya.
“Saya berhasil mengembangkan algae air tawar,” katanya. “Dengan demikian spirulina dari algae yang saya kembangkan ini bebas logam berat, arsen, dan tidak bau amis,” tambahnya.
“Ini pertama di indonesia,” kata Mahmud bersemangat.
Di dalam masjid di desa pinggir hutan itu, sambil menunggu datangnya maghrib, Mahmud saya ajak hitung-hitungan.
Saya cecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan: harga benih, modal bikin kolam, harga jual, tingkat persaingan, risiko gagal, dan seterusnya.
Mahmud bisa menjawab dengan tangkas. Akhirnya saya berkesimpulan: penemuan ini memang sangat baik. Juga sangat menguntungkan. Satu hektar sawah bisa menghasilkan Rp 300 juta. Bandingkan dengan tanam padi yang menghasilkan sekitar Rp 50 juta.
“Kalau begitu berhentilah Anda menyalah-nyalahkan pemerintah,” kata saya.
“Berhentilah berpikir ngemis-ngemis cari bantuan,” kata saya lagi.
“Ini bisnis yang bagus. Lakukan sendiri. Jangan cengeng. Kalau Anda minta pemerintah ikut campur bisa-bisa tambah ruwet,” tegas saya.
Alhamdulillah. Mahmud bisa menerima penjelasan saya. Dia tidak akan menyalah-nyalahkan orang. Juga tidak akan ngemis-ngemis. Dia akan terjun ke bisnis dengan basis penemuannya itu. “Go!” kata saya dengan bangga pada anak muda ini.
Saya pun berjanji akan mengunjunginya kalau dia sudah menjalankan bisnisnya itu.
Minggu lalu saya memenuhi janji itu. Saya ke desanya, Tawangsari, Sukoharjo, di selatan Solo. Tanpa memberitahu lebih dulu. Matahari bersinar terik. Saya lewati pabrik tekstil terkenal itu: Sritex. Masih terus ke selatan.
Desa ini bukan desa miskin. Rumah-rumahnya bagus. Tidak sulit mencari rumahnya. Bapaknya ternyata orang terkenal: politisi PAN yang sedang nyaleg. Juga tergolong kaya untuk ukuran desa itu. Saya lega. Mahmud pasti punya modal untuk mengembangkan algae air tawarnya.
Ternyata benar. Mahmud sudah punya tiga kolam kecil. Bahkan sudah berhasil panen algae air tawar beberapa kali. Algae ini memang bisa dipanen tiap empat hari. Algae itu dia saring, dia keringkan, dan dia bikin tepung. Dengan alat-alat sederhana.
Lalu dia masukkan ke saset-saset. Siap dijual. Bersaing dengan spirulina impor.
Saya sangat gembira. Mahmud benar-benar anak muda yang gigih. Saya membeli 10 saset hari itu.
Salah satunya saya buka, saya buang labelnya, saya masukkan plastik tanpa identitas. Sampai Jakarta “tepung tanpa identitas” itu saya kirim ke laboratorium Kimia Farma. Untuk diteliti. Saya tidak memberitahu asal usul dan nama tepung itu.
Hasil uji lab itu mengatakan bahwa tepung tersebut adalah spirulina, namun tidak mengandung logam berat, arsen, dan NACL. Juga tidak ada kandungan bahan kimia.
Sejak itu saya minum spirulina made in Sukoharjo itu. Tiap hari.
Mahmud juga sudah mendirikan perusahaan. Namanya CV Neoalgae Technology. Sebagai lulusan Teknik Kimia Undip, dia tidak sulit melakukan penelitian-penelitian untuk membiakkan algae itu.
Kini Mahmud akan memperbesar kolam-kolam algaenya. Tidak lagi hanya tiga kolam di sebelah rumahnya. Dia sudah mulai mengerjakan sawah satu hektar agak jauh dari rumahnya untuk diubah jadi kolam algae air tawar.
“Saya kuwalahan. Pesanan spirulina melebihi produksi saya,” ujarnya. “Terutama dari perusahaan-perusahaan obat herbal,” tambahnya.
Tentu saya berdoa agar Mahmud jadi pengusaha muda yang sukses besar. Dia layak untuk itu. Kita berharap Indonesia tidak perlu lagi impor spirulina. Mahmud juga tidak keberatan ada anak muda lain yang mengikuti jejaknya.
Lain lagi dengan Sidiq.
Dia menemukan alat pengering gabah. Mengandalkan tenaga surya. Mirip dengan yang ditemukan mahasiswa Universitras Mataram di Lombok.
Waktu itu saya sedang nonton wayang di desa Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur. Tiba-tiba Sidiq nongol. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00. Dia datang dari Malang. Naik sepeda motor. Dua jam lamanya. Di malam yang kelam. Melewati jalan yang berliku naik turun di sekitar bendungan Karangkates. Nekat benar anak ini.
Malam itu deal! Saya berikan dana untuk membuat prototype-nya. Dua bulan lagi barang itu akan jadi.
Sidiq sangat amanah. Di waktu yang dijanjikan dia selesaikan proyek itu. Jumat kemarin saya lihat hasilnya. Bisa berfungsi. Namun suhunya kurang panas.
Dia masih menggunakan kaca biasa. Bukan kaca khusus yang bisa menghasilkan panas 20 derajat lebih tinggi.
Tapi itu soal sepele. Yang jelas fungsinya sudah ketemu. Saya minta alat ini disempurnakan. Di bawah binaan BUMN PT Pertani. Siapa tahu bisa menggantikan mesin pengering yang mahal-mahal dengan bahan bakar yang juga mahal itu.
Mahmud, Sidiq, dan banyak lagi anak muda yang tidak kenal menyerah. Harapan besar di depan mata.
Saya akan terus minum spirulinanya Mahmud. Dan menunggu pengering gabahnya Sidiq
Oleh Dahlan Iskan
Menteri BUMN