Semua penumpang pesawat mengeluh: bukan main lamanya antre terbang di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Teman saya harus berada di dalam pesawat lebih satu jam hanya untuk mendapat giliran take-off.
Saya sendiri mengalami hal yang sama. Terbang ke Lampung hanya 45 menit, tapi antre terbangnya lebih lama dari itu.
Sehari-hari pun SHIA (Soekarno Hatta International Airport) sudah padat. Di hari-hari sekitar Natal dan tahun baru lebih parah. Ini karena adanya penerbangan ekstra. Bayangkan, selama 10 hari ini, tiap hari ada 12 penerbangan ekstra. Betapa berhimpitannya jadwal pesawat.
Ke depan sistem penerbangan ekstra harus diubah. Bukan diadakan penambahan jadwal, tapi perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan pesawat yang lebih besar. Dengan penambahan ekstra penerbangan, jadwal pesawat benar-benar kacau-balau. Penumpang sangat dirugikan. Demikian juga perusahaan penerbangan. Reputasi Indonesia juga tercoreng.
Mumpung lebaran masih jauh, sistem penerbangan ekstra ini bisa diatur lebih dini. Dunia penerbangan yang mestinya lebih modern dari kereta api atau penyeberangan fery, justru kalah jauh. Sudah dua tahun ini pengangkutan lebaran kereta api dan fery sangat memuaskan. Untuk bandara yang sudah padat sistem penerbangan ekstra sudah tidak cocok lagi. Lebih baik menggunakan jadwal yang sama tapi dengan menggunakan pesawat yang lebih besar. Kalau kita putuskan sekarang, perusahaan penerbangan juga masih punya waktu. Mereka harus menyiapkan diri untuk mengatur pesawat-pesawat besar mengisi jadwal domestik yang gemuk di hari lebaran.
Untuk saat ini jangankan menambah penerbangan ekstra, jadwal yang ada pun harus dikurangi. Untuk apa Jakarta-Surabaya harus 42 kali. Lebih baik 35 kali tapi tepat waktunya lebih terjamin. Demikian juga Jakarta-Medan. Dan yang lain-lain. Kalau memang jumlah penumpang terlalu banyak, kita dorong perusahaan penerbangan menggunakan pesawat yang lebih besar. Seperti Singapore Airline, untuk Jakarta-Singapura yang hanya berjarah 1,5 jam menggunakan pesawat besar Boeing 777.
Langkah untuk mengurangi kepadatan jadwal di SHIA sudah disiapkan: memindahkan sebagian penerbangan ke Bandara Halim Perdanakusumah. Belakangan ini rapat-rapat koordinasi antara TNI AU sebagai pemilik bandara, Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura II, dan Perum Airnav terus dilakukan.
Putusan sudah diambil. Setiap hari sekitar 60 penerbangan bisa dipindahkan ke Halim.
Jumat lalu giliran Angkasa Pura II melakukan rapat koordinasi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan. Untuk mengecek kesiapan mereka. Ternyata mereka belum siap untuk merealisasikannya di bulan Januari ini. Mereka minta pemindahan itu dilakukan akhir Februari.
Jumat lalu giliran Angkasa Pura II melakukan rapat koordinasi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan. Untuk mengecek kesiapan mereka. Ternyata mereka belum siap untuk merealisasikannya di bulan Januari ini. Mereka minta pemindahan itu dilakukan akhir Februari.
Kecuali Citilink. Hanya anak perusahaan Garuda Indonesia ini yang siap memindahkan sebagian jadwalnya ke Halim tanggal 10 Januari nanti. “Baik juga Citilink memulai dulu sekalian untuk ujicoba,” ujar Dirut Angkasa Pura II Tri Sunoko.
Menurut Tri Sunoko pembenahan ruang tunggu dan fasilitas lainnya sudah selesai. Ruang tunggunya cukup untuk tiga penerbangan setiap jam. Pas dengan izin yang diberikan pihak TNI AU untuk pemanfaatan Halim yang tidak mengganggu kesibukan TNI AU di situ. Perusahaan penerbangan di luar Citilink minta waktu sampai akhir Februari karena harus memindahkan sebagian kantor masing-masing ke Halim.
Bagaimana dengan masa depan SHIA sendiri?
Selama ini berkembang pemikiran untuk membangun landasan nomor 3. Tapi kendalanya luar biasa. Terutama karena harus membebaskan tanah 800 hektar. Tanah itu sekarang sudah berupa kampung. Lokasi itu meliputi 13 desa di tiga kecamatan. Bisakah membebaskannya dengan cepat? Dari pengalaman selama ini saya realistis saja: sulit. Dan lama. Dan mahal. Bisa-bisa lima tahun ke depan pun belum terbebaskan semua. Itu pun memerlukan dana pembelian tanah yang mencapai Rp 12 triliun. Total biaya bisa mencapai Rp 40 triliun.
Maka saya memuji langkah Tri Sunoko untuk mengirim staf inti belajar manajemen ke bandara besar. Mereka pergi ke London. Belajar di bandara Heathrow. Itulah bandara nomor tiga tersibuk di dunia. SHIA sendiri tersibuk nomor 10 di dunia.
Bandara Hethrow ini ternyata juga hanya memiliki dua landasan. Sama dengan SHIA. Tapi bisa menampung kesibukan 74 juta penumpang Lebih banyak dari SHIA yang menuju 60 juta penumpang. Hasil belajar ke London ini sangat baik: dengan hanya dua landasan Bandara Heathrow ternyata bisa melayani 100 pergerakan pesawat setiap jam.
Kita di SHIA dengan dua landasan baru bisa melayani 60 pergerakan setiap jam. Bahkan dua tahun lalu hanya bisa melayani 54 pergerakan. Dua tahun terakhir ini, dengan perbaikan-perbaikan manajemen dan sistem bisa meningkat 6 pergerakan.
Belajar dari London, kita juga akan bisa mencapai 74 pergerakan Juni tahun depan. Dengan investasi sekitar Rp 2 triliun di Angkasa Pura II dan Rp 1 triliun di Perum Airnav. Ini akan lebih rasional daripada membangun landasan nomor 3 yang memerlukan dana di atas Rp 30 triliun, itu pun kalau bisa melakukan pembebasan lahan.
Cara mirip ini juga pernah dilakukan RJ Lino, Dirut Pelindo II, di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Waktu itu, dua tahun lalu, Teluk Bayur tidak mampu lagi melayani kapal yang datang. Kapal harus antre tiga minggu untuk bisa merapat. Semua pihak melihat harus ada pembangunan pelabuhan baru. Investasinya Rp 5 triliun. Pemda sudah sanggup ikut membantu dana.
Tapi Lino pilih melakukan perbaikan manajemen dan modernisasi peralatan pelabuhan. Biayanya hanya Rp 0,8 triliun. Hasilnya ibarat bumi-langit. Kini kapal yang datang ke Teluk Bayur tidak perlu lagi antre!
Pola inilah yang sebaiknya dilakukan di SHIA. Dengan mempercanggih manajemen dan peralatan bisa menghemat uang puluhan triliun.